Sabtu, 16 Juli 2016

Gaya Pengasuhan Orang Tua terhadap Remaja



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.[1] Istilah adolescence juga mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget “secara psikologis, masa remaja adalah usia saat individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia saat anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa yang kenyataannya merupakan cirri khas yang umum dari periode perkembangan ini”.[2]
Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut[3] ;
1.    Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2.    Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3.    Terjadi pengalihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif  mandiri.
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk golongan dewasa. Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai”. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. Namun yang perlu ditekankan disini adalah bahwa fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik.[4]
Menurut Elizabeth B. Hurlock, rentang usia remaja antara usia 13 tahun-21 tahun, rentang usia tersebut dibagi dalam masa remaja awal antara usia 13/14 tahun-17 tahun, dan remaja akhir antara rentang usia 17 tahun-21 tahun.[5]
Beberapa ahli di Indonesia dalam menentukan rentangan usia remaja, langsung maupun tidak, banyak dipengaruhi oleh pendapat Hurlock di atas. Drs. M.A. Priyatno, SH. yang membahas masalah kenakalan remaja dari segi agama Islam menyebutkan rentangan usia 13-21 tahun sebagai masa remaja.
Dra. Singgih Gunarsa dan suami, walaupun menyatakan bahwa ada beberapa kesulitan menentukan batasan usia masa remaja di Indonesia, akhirnya mereka pun menetapkan bahwa usia antara 12-22 tahun sebagai masa remaja.
Dr. Winarno Surrachmad, setelah meninjau banyak literatur luar negeri, menulis usia kurang lebih 12-22 adalah masa yang mencakup bagian terbesar perkembangan adolescence.[6]
B.       Gaya Pengasuhan/Pola Asuh Orang Tua Pada Remaja
Pengasuhan merupakan tanggung jawab orang tua, sehingga sungguh disayangkan bila pada masa kini masih ada orang yang menjalani peran orang tua tanpa kesadaran pengasuhan.[7] Padahal, Pengasuhan dipercaya memiliki dampak terhadap perkembangan individu.[8]
Terdapat dua elemen penting dalam pengasuhan yaitu pengasuhan yang demandingness dan responsiveness.[9] Pengasuhan demandingness merupakan dimensi yang berkaitan dengan tuntutan-tuntutan orang tua mengenai keinginan menjadikan anak sebagai bagian dari keluarga, harapan tentang perilaku dewasa, disiplin dan upaya menghadapi masalah perilaku. Faktor ini mewujud dalam tindakan kontrol dan regulasi yang dilakukan orang tua. Responsiveness merupakan dimensi yang berkaitan dengan ketanggapan orang tua dalam hal membimbing kepribadian remaja, membentuk ketegasan sikap, pengaturan diri dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus. Faktor ini mewujud dalam tindakan penerimaan, suportif, sensitif terhadap kebutuhan dan penghargaan.[10]

·           Jenis-Jenis Pola Pengasuhan Remaja
1.    Pengasuhan autoritarian (authoritarian parenting)
Adalah pola asuh yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap.[11]
Pola asuh otoriter orang tua memberikan perlakuan dan aturan-aturan yang kaku dan ketat yang dipergunakan sebagai pengontrol tingkah laku remaja, aturan-aturan dan batasan-batasan dari orangtua mutlak harus ditaati remaja dan remaja harus bertingkah laku sesuai dengan aturan yang diterapkan oleh orang tua. Anak harus patuh, tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Orang tua tidak mempertimbangkan pandangan dan pendapat remaja, orang tua tetap mengambil dan menentukan keputusan, tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman diberikan tanpa alasan dan jarang memberi hadiah. Orang tua hanya mengatakan apa yang harus dilakukan remaja, tetapi tidak menjelaskan mengapa remaja harus melakukan sesuatu dan tidak boleh melakukan yang lain.
Orang tua dengan gaya pengasuhan ini dinilai rendah dalam penggunaan kontrol rasional. Mereka lebih mengandalkan penegasan kekuasaan, disiplin keras, kurang hangat, kurang mengasuh, kurang mengasihi, kurang simpatik pada remaja.
Sebagai contoh seorang orang tua autoritarian bisa berkata, “kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada tawar menawar!” Remaja yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah.[12]
2.      Pengasuhan autoritatif (authoritative parenting)
Gaya pengasuhan authoritative adalah kombinasi dari pengasuhan dengan kontrol yang tinggi dan pemberian dukungan yang positif bagi kemandirian remaja. Pengasuhan ini  mendorong untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersikap membesarkan hati remaja.[13] Orang tua mendorong anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri. Di sisi lain, orang tua bersikap tanggap terhadap kebutuhan dan pandangan remaja. Orang tua menghargai kedirian anak dan kualitas kepribadian yang dimiliki nya sebagai keunikan pribadi.[14]
Gaya pengasuhan authoritative memiliki arti yang sama seperti pola pengasuhan demokratis. Pola asuh demokratis memberlakukan peraturan-peraturan yang dibuat bersama oleh anggota keluarga yang bersangkutan. Orang tua benar-benar menghormati remaja sebagai individu yang utuh lahir dan batin, dan tidak sedikitpun mengarahkannya secara otoriter. Remaja di beri segala hal yang mengarahkannya pada kedewasaannya yang mandiri dan mengambil keputusan sendiri.[15]
Seorang ayah yang bersifat otoritatif, contohnya, bisa merangkul si remaja dengan nyaman dan berkata, “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi  tersebut dengan lebih baik di masa depan”. Remaja yang orang tuanya bersifat auritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara sosial.[16]
3.      Pengasuhan Permissive
Pengasuhan permissive biasanya dilakukan oleh orang tua yang terlalu baik, cenderung memberi banyak kebebasan pada remaja dengan menerima dan memaklumi segala perilaku, tuntutan dan tindakan remaja, namun kurang menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan perilaku anak.[17]
Seringkali orang tua menganggap dirinya bijaksana dengan memberikan “kebebasan” pada anak mereka, yang akhirnya disalahgunakan.[18]
Menurut Baumrin, pola asuh keluarga permisif (permissive) tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak mereka. Pola asuh permissive merupakan bentuk pengasuhan dimana orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua.
Baumrind menggambarkan 2 jenis keluarga yang permissive, antara lain:
a.    Keluarga permisif lunak (memanjakan)
Pola asuh permisif memanjakan (permissive-indulgent parenting) adalah suatu pola dimana orangtua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri.[19]
Orang tua yang bersifat permissive memanjakan dan mengijinkan remaja melakukan apa yang mereka inginkan, dan akibatnya adalah si remaja tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu berharap mereka bisa mendapat semua keinginannya.[20]
Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua tipe ini biasanya menjadi anak-anak yang ”manja”. Mereka cenderung tidak cocok dengan orang dewasa lainnya, mereka sangat menuntut, kurang percaya diri, dan kurang bisa mengandalikan diri. Mereka tidak menetapkan tujuan atau menikmati kegiatan yang mengandung tanggung jawab. Mereka bisa menjadi senang dan bersikap baik selama segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan mereka, tetapi mudah frustasi jika keinginan mereka tidak terpenuhi.
b.    Keluarga yang lepas tangan (tidak peduli)
Gaya pengasuhan permisif tidak peduli (permissive-indifferet parenting) adalah suatu pola dimana keluarga sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri.[21] keluarga semacam ini gagal memberikan bimbingan dan dukungan emosional yang cukup bagi anak-anak mereka. keluarga yang tidak peduli bisa saja memulai dengan mencintai dan tegas, tetapi dalam perjalanannya mereka menjadi kewalahan menghadapi seringnya respons negatif dari anggota keluarga yang lain. Mereka mencoba menghindari konflik dengan bertahap menarik diri dari kehidupan emosional anak mereka. Seakan-akan orangtua yang lepas tangan mengatakan kepada diri mereka sendiri, ”apapun yang kulakukan, semuanya tidak berhasil. Jika aku baik kepada anak ini, juga tidak akan berhasil. Jika aku coba untuk memaksa anak ini untuk mengerjakan apa yang aku inginkan, anakmu menolak dan semua menjadi lebih buruk lagi”.
Remaja yang orangtuanya bersifat permissive-tidak peduli mendapat kesan bahwa aspek lain dari kehidupan si orang tua lebih penting daripada dirinya. Mereka biasanya tidak cakap secara social, mereka menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik.[22]




[1] Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja (Bandung; Pustaka Setia, 2006), 55.
[2] Mohammad Ali, Psikolokgi Remaja (Jakarta; Bumi Aksara, 2004), 9.
[3] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2002),  9.
[4] Mohammad Ali, Psikologi Remaja,…9-10.
[5] Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja,… 61.
[6] Panut Penuju, Psikologi Remaja (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 6-7.
[7] Sri Lestari, Psikologi Keluarga (Jakarta; Kencana, 2012), 37.
[8] Ibid, 47.
[9] Ibid, 48.
[10] Ibid.
[11] John W. Santrock, Adolescene ; Perkembangan Remaja, alih bahasa Shinto dkk (Jakarta; Erlangga, 2003), 185.
[12] Ibid.
[13] Ibid, 186.
[14] Sri Lestari, Psikologi Keluarga,…49.
[15] Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja,…199.
[16] John W. Santrock, Adolescene ; Perkembangan Remaja,..186.
[17] Sri Lestari, Psikologi Keluarga, 48.
[18] Singgih D. Gunasa, Psikologi Untuk Keluarga (Jakarta:PT BPK Gunung Mulia, 2000), 76.
[19] John W. Santrock, Adolescene ; Perkembangan Remaja,..186.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar