BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Remaja
Istilah adolescence atau
remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolentia
yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.[1]
Istilah adolescence juga mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan
mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget
“secara psikologis, masa remaja adalah usia saat individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia saat anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang
yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya
dalam masalah hak. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja
ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa
yang kenyataannya merupakan cirri khas yang umum dari periode perkembangan
ini”.[2]
Pada tahun 1974, WHO memberikan
definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut
dikemukakan 3 kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga
secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut[3] ;
1.
Individu
berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2.
Individu
mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak
menjadi dewasa.
3.
Terjadi
pengalihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang
relatif mandiri.
Remaja sebetulnya tidak mempunyai
tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum
juga dapat diterima secara penuh untuk masuk golongan dewasa. Remaja ada di
antara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan
fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai”. Remaja masih belum mampu
menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. Namun
yang perlu ditekankan disini adalah bahwa fase remaja merupakan fase perkembangan
yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif,
emosi, maupun fisik.[4]
Menurut Elizabeth B. Hurlock,
rentang usia remaja antara usia 13 tahun-21 tahun, rentang usia tersebut dibagi
dalam masa remaja awal antara usia 13/14 tahun-17 tahun, dan remaja akhir
antara rentang usia 17 tahun-21 tahun.[5]
Beberapa ahli di Indonesia dalam
menentukan rentangan usia remaja, langsung maupun tidak, banyak dipengaruhi
oleh pendapat Hurlock di atas. Drs. M.A. Priyatno, SH. yang membahas masalah
kenakalan remaja dari segi agama Islam menyebutkan rentangan usia 13-21 tahun
sebagai masa remaja.
Dra. Singgih Gunarsa dan suami, walaupun
menyatakan bahwa ada beberapa kesulitan menentukan batasan usia masa remaja di
Indonesia, akhirnya mereka pun menetapkan bahwa usia antara 12-22 tahun sebagai
masa remaja.
Dr. Winarno Surrachmad, setelah
meninjau banyak literatur luar negeri, menulis usia kurang lebih 12-22 adalah
masa yang mencakup bagian terbesar perkembangan adolescence.[6]
B. Gaya
Pengasuhan/Pola Asuh Orang Tua Pada Remaja
Pengasuhan
merupakan tanggung jawab orang tua, sehingga sungguh disayangkan bila pada masa
kini masih ada orang yang menjalani peran orang tua tanpa kesadaran pengasuhan.[7]
Padahal, Pengasuhan dipercaya memiliki dampak terhadap perkembangan individu.[8]
Terdapat
dua elemen penting dalam pengasuhan yaitu pengasuhan yang demandingness dan
responsiveness.[9]
Pengasuhan demandingness merupakan dimensi yang berkaitan dengan
tuntutan-tuntutan orang tua mengenai keinginan menjadikan anak sebagai bagian
dari keluarga, harapan tentang perilaku dewasa, disiplin dan upaya menghadapi
masalah perilaku. Faktor ini mewujud dalam tindakan kontrol dan regulasi yang
dilakukan orang tua. Responsiveness merupakan dimensi yang berkaitan
dengan ketanggapan orang tua dalam hal membimbing kepribadian remaja, membentuk
ketegasan sikap, pengaturan diri dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus. Faktor
ini mewujud dalam tindakan penerimaan, suportif, sensitif terhadap kebutuhan
dan penghargaan.[10]
·
Jenis-Jenis Pola Pengasuhan Remaja
1. Pengasuhan autoritarian
(authoritarian parenting)
Adalah pola asuh yang membatasi dan bersifat menghukum yang
mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati
pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat
batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit
komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku
sosial remaja yang tidak cakap.[11]
Pola asuh otoriter orang tua
memberikan perlakuan dan aturan-aturan yang kaku dan ketat yang dipergunakan
sebagai pengontrol tingkah laku remaja, aturan-aturan dan batasan-batasan dari
orangtua mutlak harus ditaati remaja dan remaja harus bertingkah laku sesuai
dengan aturan yang diterapkan oleh orang tua. Anak harus patuh, tunduk dan
tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri.
Orang tua tidak mempertimbangkan pandangan dan pendapat remaja, orang tua tetap
mengambil dan menentukan keputusan, tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman
diberikan tanpa alasan dan jarang memberi hadiah. Orang tua hanya mengatakan
apa yang harus dilakukan remaja, tetapi tidak menjelaskan mengapa remaja harus
melakukan sesuatu dan tidak boleh melakukan yang lain.
Orang tua dengan gaya pengasuhan ini
dinilai rendah dalam penggunaan kontrol rasional. Mereka lebih mengandalkan
penegasan kekuasaan, disiplin keras, kurang hangat, kurang mengasuh, kurang
mengasihi, kurang simpatik pada remaja.
Sebagai contoh seorang orang tua autoritarian bisa berkata,
“kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada tawar menawar!” Remaja
yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial,
tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang
rendah.[12]
2. Pengasuhan autoritatif
(authoritative parenting)
Gaya pengasuhan authoritative
adalah kombinasi dari pengasuhan dengan kontrol yang tinggi dan pemberian
dukungan yang positif bagi kemandirian remaja. Pengasuhan ini mendorong untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan
mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung
dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersikap membesarkan hati
remaja.[13] Orang
tua mendorong anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri. Di sisi
lain, orang tua bersikap tanggap terhadap kebutuhan dan pandangan remaja. Orang
tua menghargai kedirian anak dan kualitas kepribadian yang dimiliki nya sebagai
keunikan pribadi.[14]
Gaya pengasuhan authoritative
memiliki arti yang sama seperti pola pengasuhan demokratis. Pola asuh
demokratis memberlakukan peraturan-peraturan yang dibuat bersama oleh anggota
keluarga yang bersangkutan. Orang tua benar-benar menghormati remaja sebagai
individu yang utuh lahir dan batin, dan tidak sedikitpun mengarahkannya secara
otoriter. Remaja di beri segala hal yang mengarahkannya pada kedewasaannya yang
mandiri dan mengambil keputusan sendiri.[15]
Seorang ayah yang bersifat otoritatif, contohnya, bisa merangkul si
remaja dengan nyaman dan berkata, “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan
hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik di masa depan”. Remaja
yang orang tuanya bersifat auritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara
sosial.[16]
3. Pengasuhan
Permissive
Pengasuhan permissive
biasanya dilakukan oleh orang tua yang terlalu baik, cenderung memberi banyak
kebebasan pada remaja dengan menerima dan memaklumi segala perilaku, tuntutan
dan tindakan remaja, namun kurang menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan
perilaku anak.[17]
Seringkali orang tua menganggap
dirinya bijaksana dengan memberikan “kebebasan” pada anak mereka, yang akhirnya
disalahgunakan.[18]
Menurut
Baumrin, pola asuh keluarga permisif (permissive) tidak memberikan
struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak mereka. Pola asuh permissive
merupakan bentuk pengasuhan dimana orang tua memberikan kebebasan sebanyak
mungkin pada anak untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung
jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua.
Baumrind
menggambarkan 2 jenis keluarga yang permissive, antara lain:
a.
Keluarga
permisif lunak (memanjakan)
Pola asuh
permisif memanjakan (permissive-indulgent parenting) adalah suatu pola
dimana orangtua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut
atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan
ketidak cakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri.[19]
Orang tua yang
bersifat permissive memanjakan dan mengijinkan remaja melakukan apa yang
mereka inginkan, dan akibatnya adalah si remaja tidak pernah belajar bagaimana
mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu berharap mereka bisa mendapat
semua keinginannya.[20]
Anak-anak yang
dibesarkan oleh orangtua tipe ini biasanya menjadi anak-anak yang ”manja”.
Mereka cenderung tidak cocok dengan orang dewasa lainnya, mereka sangat
menuntut, kurang percaya diri, dan kurang bisa mengandalikan diri. Mereka tidak
menetapkan tujuan atau menikmati kegiatan yang mengandung tanggung jawab.
Mereka bisa menjadi senang dan bersikap baik selama segala sesuatu berjalan
sesuai dengan keinginan mereka, tetapi mudah frustasi jika keinginan mereka
tidak terpenuhi.
b.
Keluarga yang
lepas tangan (tidak peduli)
Gaya pengasuhan
permisif tidak peduli (permissive-indifferet parenting) adalah suatu
pola dimana keluarga sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja. Hal ini
berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya
pengendalian diri.[21]
keluarga semacam ini gagal memberikan bimbingan dan dukungan emosional yang
cukup bagi anak-anak mereka. keluarga yang tidak peduli bisa saja memulai
dengan mencintai dan tegas, tetapi dalam perjalanannya mereka menjadi kewalahan
menghadapi seringnya respons negatif dari anggota keluarga yang lain. Mereka
mencoba menghindari konflik dengan bertahap menarik diri dari kehidupan
emosional anak mereka. Seakan-akan orangtua yang lepas tangan mengatakan kepada
diri mereka sendiri, ”apapun yang kulakukan, semuanya tidak berhasil. Jika aku
baik kepada anak ini, juga tidak akan berhasil. Jika aku coba untuk memaksa
anak ini untuk mengerjakan apa yang aku inginkan, anakmu menolak dan semua
menjadi lebih buruk lagi”.
Remaja yang
orangtuanya bersifat permissive-tidak peduli mendapat kesan bahwa aspek
lain dari kehidupan si orang tua lebih penting daripada dirinya. Mereka
biasanya tidak cakap secara social, mereka menunjukkan pengendalian diri yang
buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik.[22]
[1]
Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja (Bandung; Pustaka Setia, 2006), 55.
[2]
Mohammad Ali, Psikolokgi Remaja (Jakarta; Bumi Aksara, 2004), 9.
[3]
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta; PT Raja Grafindo
Persada, 2002), 9.
[4]
Mohammad Ali, Psikologi Remaja,…9-10.
[5]
Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja,… 61.
[6]
Panut Penuju, Psikologi Remaja (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 6-7.
[7]
Sri Lestari, Psikologi Keluarga (Jakarta; Kencana, 2012), 37.
[8] Ibid,
47.
[9] Ibid,
48.
[10] Ibid.
[11]
John W. Santrock, Adolescene ; Perkembangan Remaja, alih bahasa Shinto
dkk (Jakarta; Erlangga, 2003), 185.
[12] Ibid.
[13] Ibid,
186.
[14]
Sri Lestari, Psikologi Keluarga,…49.
[15]
Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja,…199.
[16]
John W. Santrock, Adolescene ; Perkembangan Remaja,..186.
[17]
Sri Lestari, Psikologi Keluarga, 48.
[18]
Singgih D. Gunasa, Psikologi Untuk Keluarga (Jakarta:PT BPK Gunung
Mulia, 2000), 76.
[19]
John W. Santrock, Adolescene ; Perkembangan Remaja,..186.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar