BAB II
PEMBAHASAN
A.
Surah
Al-Baqaarah: 282
1.
Ayat dan Terjemah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا
يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ
شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا
مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan,
maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas
waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu,
(Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
2.
Mufrodat ayat
تَدَايَنْتُمْ : Bermuamalah
فَاكْتُبُوه : Hendaklah kamu menulisnya
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ : Persaksikan dengan dua orang saksi
الشُّهَدَاءِ : Para saksi
3.
Munasabah Ayat
Pada
ayat sebelumnya telah dijelaskan bahwasanya Allah telah mengingatkan hambanya
bahwa akan datang hari kiamat dan bencana besar, hal ini bertujuan agar mereka
takut dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang syara’. Seperti riba dan
lain-lain. Intinya keterkaitan ayat-ayat tersebut adalah, setelah Allah
menganjurkan kaum mukmin untuk bersedekah, mengharamkan riba, dan mengajak
memaafkan orang yang sedang menghadapi kesulitan, dna bersedekah kepadanya
dengan membebaskan hutangnya hal ini menimbukan kesan bahwa harta benda itu
tidak punya arti dan nilau dalam hidup ini, maka datanglah ayat ini yang
menjelaskan tetang hutang piutang.
4.
Asbabun Nuzul
Ayat
ini diturunkan sebab pada suatu waktu Rasulullah SAW datang ke Madinah. pertama
kali orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua
atau tiga tahun. Oleh sebab itu Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang menyewakan
(menghutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran tertentu dan
dalam jangka waktu tertentu pula”,
sehubungan dengan itu, Allah menurunkan Ayat ke-282 sebagai perintah apabila
mereka utang piutang maupun muamalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah
ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjadinya
sengketa pada waktu-waktu yang akan datang.
5.
Penafsiran Ayat
Inilah
ayat yang terpanjang dalam Al-Qur’an dan yang dikenal oleh para ulama dengan
nama ayat al-mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini antara lain
berbicara tentang anjuran atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang
piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris)
sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah
dan ketetapan waktunya.[1]
Selanjutnya
Allah menegaskan dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan
adil yakni dengan benar tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang
berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang
bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil dan diantara kamu. Dengan demikian
dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis yaitu kemampuan menulis, pengetahuan
tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian dan kejujuran.
Kata
تَدَايَنْتُمْ yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah. Terambil
dari kata dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata
yang dihimpun oleh huruf huruf kata dain itu selalu menggambarkan hubungan
antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak lain. kata
ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama. Kesemuanya
menggambarkan timbal balik itu atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang
dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai yakni hutang piutang. Tuntunan
agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya sekaligus harga diri. Karena itu,
agama tidak menganjurkan seseorang berhutang kecuali jika sangat terpaksa.
“hutang adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari” demikian sabda
rasul seseorang yang tidak resah karena memiliki hutang atau tidak merasa risih
karenanya maka dia bukan seorang yang
menghayati agama.
Perintah
menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran bukan
kewajiban. Demikian praktek para sahabat nabi ketika itu, demikian juga yang
terbaca pada ayat berikut. Memang sungguh sulit perintah itu diterapkan oleh
kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang
bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka.
Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi
dalam artian salah seorang menulis dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada
mitranya jika mitra pandai tulis baca dan bila tidak pandai atau keduanya tidak
pandai maka hendaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat.
Sedikit
menerangkan diatas, kami disini hanya mencoba menjelaskan tentang persaksian.
Kata
ممن
ترضون من الشهداء didalam ayat ini terkandung makna yang
menunjukkan adanya persyaratan yang adil bagi saksi. Makna ayat ini bersifat Muqayyad
(mengikat) yang dijadikan pegangan hukum oleh imam Syafii dalam menangani
semua kemutlakan di dalam Al-Quran yang menyangkut perintah mengadakan
persaksian tanpa syarat. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang menolak
kesaksian seseorang yang tidak dikenal. Untuk itu ia mempersyaratkan, hendaknya
seorang saksi itu harus adil lagi disetujui.[2]
Kata واستشهدواشهدين من رجالكم “ dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu.
Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah syahiidain bukan syahidain.
Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah
dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas
tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua
orang saksi yang dimaksud adalah saksi-saksi lelaki. Atau kalau bukan dua orang
saksi, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Dalam pandangan mazhab Maliki, kesaksian wanita
dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, tindak kriminal,
pernikahan, cerai dan rujuk. Mazhab Hanafi lebih luas dan lebih sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan kodrat wanita. Mereka membenarkan kesaksian wanita
dalam hal-hal yang berkaitan dnegan harta, persoalan rumah tangga, seperti
pernikahan, talak, dan rujuk, bahkan segala sesuatu kecuali soal kriminal.
Memang, persoalan kriminal yang dapat mengantar kepada jatuhnya hukuman mati,
dan dera, disamping tidak sejalan dengan kelemahlembutan wanita, kesaksian
dalam hal tersebut tidak lumrah bagi mereka yang diharapkan lebih banyak memberi
perhatian pada anak-anak dan rumah tangganya.
Sebagaimana Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. Karena keengganannya
dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Memang, banyak orang,
sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai
faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu.
Karena itu, mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika
ada orang lain yang member keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya
mutlak untuk menegakkan keadilan. Nanti dalam ayat berikut akan ada larangan
tegas disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan kesaksian, yang
mengakibatkan kerugian pihak lain.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan
untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai aneka kepentingan pribadi
atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat
mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual
beli atau hutang-piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis
dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau menyalahi ketentuan
penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat
dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli,
serta yang berhutang dan pemberi hutang.
Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh
saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rezeki, karena itu,
tidak ada salahnya memberikan mereka ganti biaya transport dan biaya , sebagai
imbalan jerih payah dan penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan
saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat
kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak
sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis serta
yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertakwa yang disusul dengan
mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali
yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya
dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin.
Dari sini peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi
menjadi sangat tepat.
Namun dalam
penafsiran lain disebutkan lebih jelas dan mendetail mengenai tafsiran ayat
ini, Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya
mendokumentasikan misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa
penting yang terjadi diantara manusia karena itu sangat beralasan kalau tulisan
atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti.
B.
Surah al-Maidah : 106
1.
Ayat dan Terjemah
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ
الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ
غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي
الأرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ
الصَّلاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ
ارْتَبْتُمْ لا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ
كَانَ ذَا قُرْبَى وَلا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ
الآثِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan
oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama
dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya
kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu
mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi
Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk
kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami
menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah
termasuk orang-orang yang berdosa".
2.
Mufrodat Ayat
شَهَادَةُ
بَيْنِكُمْ : Kalimat
berita yang bermakna perintah yang artiya hendaklah disaksikan.
الْمَوْتُ :
Tanda-tanda kematian
الْوَصِيَّةُ : Berwasiat menunjukkan hukum wajib jika
ia syartiyah
اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ :Oleh dua orang yang
adil diantara kamu
أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ : Atau dua orang selain
kamu
3.
Asbabun Nuzul
Ada banyak riwayat yang
dikemukakan oleh ahli asbabun nuzul tentang sebab turunnya ayat ini, walau
berbeda-beda tapi intinya sama.[3]
Pada suatu kali pergilah Budail Maula Amar ibn Ash membawa barang
dagangan ke Madinah. Di kota itu, ia berjumpa Tamim ad-dary dan Adi, dua orang
Nasrani yang tinggal di Mekkah, lalu mereka pun bersama-sama pergi ke Syam.
Di tengah perjalanan
Budail menderita sakit, lalu dia menulis surat wasiat dan dia masukkan ke dalam
barang-barang dagangan miliknya. Kepada kawan-kawannya dia berwasiat supaya
menyampaikan barang dagangan miliknya kepada keluarganya. Budail pun meninggal
dalam perjalanan.
Sebelum barang diterima
para ahli waris, Tamim dan Adi membuka ikatan barang-barang tersebut dan
mengambil sebagiannya. Setelah itu barang dibungkus kembali dan kemudian
diserahkan kepada keluarga Budail, yang tentu saja tidak utuh lagi. Keluarga
Budail terkejut ketika bungkusan dibuka jumlah barang tidak sesuai dengan isi
surat wasiat, yang juga diletakkan dalam bungkusan tanpa diketahui kawan
almarhum yang dititipi. Para ahli waris pun datang kepada mereka yang
menyerahkan barang titipan tersebut. Tetapi mereka yang dititipi mengatakan
itulah barang-barang yang mereka terima. Mereka mengaku tidak tahu barang dalam
bungkusan berkurang. Keluarga Budail mengatakan jumlah barang tidak sesuai dengan
isi surat wasiat. Untuk menyelesaikan hal itu, akhirnya mereka mengadu kepada
Nabi. maka turunlah ayat ini “hai orang-orang yang beriman, apabila salah
seorang diantara kalian menghadapi kematian, sedang dia kan berwasiat , maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kalian,
atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian... Sesungguhnya kami kalau
demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”. Kemudian Rasulullah
SAW menyuruh dua teman almarhum atau saksi tersebut bersumpah dengan nama
Allah setelah sembahyang ashar yaitu “ Demi Allah yang tidak ada tuhan
selain Dia, kami tidak memegang selain dari ini dan kami tidak menyembunyikannya.”
Kemudian mereka tinggal
sebagaimana yang dikehendaki Allah untuk tinggal. Sesudah itu tampak pada
mereka berdua ada sebuah bejana dari perak yang diukir dengan emas. Keluarganya
berkata ”ini sebagian dari barangnya”. Mereka berdua berkata,” benar,
tetapi kami telah membelinya dari dia, dan kami lupa menyebutkannya ketika
bersumpah. Kami tidak suka mendustai diri kami sendiri”. Setelah mereka
mengadukan perkara itu kepada Nabi SAW. turunlah ayat: “jika diketahui
bahwa kedua saksi itu berbuat dosa...” maka nabi SAW
memerintahkan dua orang laki-laki dan keluarga pemilik untuk bersumpah atas apa
yang mereka berdua sembunyikan dan miliki.
Setelah kejadian ini,
Tamim ad-Dari memeluk islam serta membaiatkan diri kepada Nabi. Ketika itulah
dia merasa berdosa atas perbuatannya tersebut dan selanjutnya dia mengaku
dengan terus terang telah mengambil bejana milik almarhum bersama kawannya.
Kemudian setelah
mengakui perbuatannya, Tamim menemui ahli waris budail dan menyerahkan
uang sebanyak lima ratus dirham dan sisanya masih sama temannya (Adi bin
Bada’), kemudian berangkatlah ahli waris Budail dan Adi menghadap Rasulullah
SAW. Rasulullah meminta bukti-bukti tuduhan terhadap Adi itu, tetapi mereka
tidak dapat memenuhi permintaan Rasulullah, kemudian Rasulullah menyuruh mereka
menyumpah Adi dan ia pun bersumpah. Seperti telah dijelaskan di depan tadi
Allah menurunkan QS .5 al-Maidah :106-108.[4]
4.
Munasabah Ayat
Setelah menjelaskan
aneka ketentuan agama dan mengecam sejumlah adat kebiasaan dan keyakinan yang
bertentangan dengan nilai-nilai ilahi, kini tiba saatnya menutup
tuntunan-tuntunan-Nya dengan mengingatkan tentang kematian serta tuntutan
berwasiat.
5.
Tafsir Ayat
Ayat
ini menyeru kepada kaum beriman : hai orang-orang yang mengaku beriman,
persaksian diantara kamu apabila tanda-tanda dekatnya kematian telah hadir
kepada salah seorang diantara kamu sedang dia akan berwasiat, adalah bahwa
persaksian wasiat itu oleh dua orang beriman yang adil diantara kamu, wahai
orang beriman atau dua orang selain kamu yakni yang berlainan agama dengan kamu
jika kamu tidak menemukan yang wajar menjadi saksi dari umat yang seagama
dengan kamu misalnya jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi ini lalau kamu
ditimpa musibah dengan hadirnya tanda-tanda kematian.
Kalau
kamu wahai ahli waris, ragu tentang kesaksian mereka, maka laporkanlah kepada
penguasa (hakim). Selanjutmya ayat ini mengarahkan perintahnya kepada penguasa
(hakim) dengan menyatakan “hendaklah kamu tahan kedua saksi itu sesudah sholat
agar mereka bersumpah, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah- ini – jika
kamu ragu tentang kesaksian mereka dengan menyuruhnya berkata “ demi Allah kami
tidak akan menukarnya yakni kandungan sumpah kami ini dengan harga sebanyak apapun
karena ia pada hakekatnya adalah harga yang sedikit, walaupun penukaran itu
untuk kepentingan karib kerabat, dan kami tidak pula menyembunyikan persaksian
Allah yakni sumpah kami ini tidak mengandung perubahan terhadap apa yang
diperintahkan Allah untuk dipersaksikan, tidak seorang tidak juga yang akan
datang sesungguhnya kalau kami demikian yakni menyembunyikan persaksian atau
mengubahnya maka tentulah kami termasuk pendosa yakni orang orang yang
benar-benar telah mendarah daging dan membudidaya dosa dan pelanggaran dalam
segala aktivitasnya”.
Dari
penjelasan diatas terlihat bahwa firman-Nya kamu tahan kedua saksi itu sesudah
shalat tidak berkaitan dengan sebelumnya, tetapi perintah kepada penguasa atau
hakim untuk menahan kedua saksi bila diragukan kesaksiannya guna diminta untuk
bersumpah. Jika demikian maka tidak perlu adanya sumpah itu bila tidak ada
keraguan terhadap mereka.
Tahir
ibnu Asyur mempunyai pendapat lain menyangkut kata إِنِ ارْتَبْتُمْ /kalau kamu ragu. Kata
ini menurutnya termasuk ucapan yang diucapkan oleh saksi, dalam arti ia
mengucapkan bahwa “kalau kamu ragu tentang kebenaran kesaksian kami maka kami
bersumpah demi Allah, bahwa kami tidak akan menukarnya dengan harga yang
sedikit walaupun untuk karib kerabat dst” ini untuk menenangkan hati para
pemilik hak. Menurut ibnu Asyur, kesaksian pada dasarnya hendaknya dipercaya
walaupun kemungkinan berbohong tetap ada. Untuk menghindarkan kemungkinan
itulah maka diperlukan sumpah. Disisi lain, memahaminya seperti ini tidak akan
memojokkan siapapun yang menjadi saksi, karena ia berlaku dan diucapkan oleh
semua yang menyampaikan kesaksian, berbeda jika sumpah tersebut hanya
dimintakan kepada mereka yang diragukan. Demikian ibnu Asyur.
Kata
kamu dalam firman-Nya oleh dua orang yang adil diantara kamu atau dua orang
selain kamu, dipahami dalam arti kamu wahai kaum beriman. Pemahaman ini
berdasarkan redaksi yang jelas dimulai denagn ajakan kepada orang-orang
beriman. Ada juga yang memahaminya dalam arti dua orang adil diantara suku atau
kabilah kamudan bila tidak ditemukan maka dua orang selain dari suku atua
kabilah kamu. Agaknya mereka yang menganut pendapat kedua ini enggan menerima
kesaksian non muslim terhadap orang-orang islam. Tetapi pemahaman mereka tidak
sejalan dengan nilai nilai universal yang diajarkan islam, bahkan sangat
janggal dari segi bahasa, dan karena itu pendapat ini tidak wajar diterima.
Memang ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya non muslim menjadi saksi
atas muslim. Yang menolak kesaksian non muslim menilai penggalan ayat diatas
yang membolehkan kesaksian dimaksud telah dibatalkan hukumnya oleh ayat lain
yang memerintahkan untuk mempersaksikan saksi yang diridhai oleh kaum muslimin
(Al-Baqarah : 282). Ini pendapat Malik, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i.
Pendapat yang
menyatakan bahwa penggalan ayat diatas telah dibatalkan hukumnya, tidak
disetujui oleh banyak ulama, apalagi surah al-Maidah termasuk surah terakhir
yang diterima oleh rasul. Atas dasar itu banyak ulama yang berpendapat bahwa
kesaksian non muslim terhadap muslim dapat dibenarkan apalagi dalam keadaan
darurat atau dalam perjalanan seperti bunyi ayat ini.
Tampaknya
pembatasan kesaksian non muslim terhadap muslim yang dipahami oleh ulama itu,
disebabkan karena sebagaian penganut agama apalagi orang orang yahudi secara
tegas membolehkan penipuan terhadap kaum muslimin sebagaimana ditegaskan oleh
ucapan mereka sendiri yang diabadikan al-Qur’an bahwa tidak ada dosa bagi kami
terhadap orang-orang ummi (kaum muslimin). (QS Ali imran : 75).
Firman-Nya تَحْبِسُونَهُمَا /kamu tahan kedua saksi itu, maksudnya bukan dalam arti
dipenjarakan, tetapi diminta untuk tidak kemana-mana sebelum bersumpah.
Kata
min dalam firman-Nya مِنْ
بَعْدِ الصَّلاةِ /sesudah
sholat dimaksudkan untuk member makna kedekatan waktu sesudah shalat yakni
bahwa sumpah itu dilakukan setelah baru saja shalat selesai dilaksanakan. Bahwa
sumpah itu dilaksanakan setelah shalat baru saja selesai dilaksanakan, karena
shalat merupakan salah satu saat yang sangat dihormati oleh pemeluk agama,
mengingat bahwa ia adalah saat menghadap ke Yang Maha Kuasa, sehingga
diharapkan dengan selesainya shalat beberapa saat lalu jiwa yang bersumpah atau
bersaksi masih diliputi oleh rasa takut kepada tuhan dan dengan demikian
diharapkan pula kesaksian yang disampaikannya adalah kesaksian yang benar.
[1]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 1 (Ciputat Tanggerang:
Lentera Hati, 2005), 601-609.
[2]
Muhammad Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Jilid 7,
penerjemah: Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 1999), 194.
[3]
M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), Hlm. 229.
[4]
Q. Saleh , A.A
Dahlan. Dkk., Asbabul Nuzul : latar belakang historis turunnya ayat-ayat
Al-Qur’an, (Bandung: Diponegoro,
2009) Hlm. 210.