Sabtu, 16 Juli 2016

Tafsir QS Al-Baqarah :282 dan Al-Maidah ayat 106.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Surah Al-Baqaarah: 282

1.    Ayat dan Terjemah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”

2.    Mufrodat ayat
تَدَايَنْتُمْ                    : Bermuamalah
فَاكْتُبُوه                    : Hendaklah kamu menulisnya
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ : Persaksikan dengan dua orang saksi
الشُّهَدَاءِ                   : Para saksi

3.    Munasabah Ayat
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan bahwasanya Allah telah mengingatkan hambanya bahwa akan datang hari kiamat dan bencana besar, hal ini bertujuan agar mereka takut dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang syara’. Seperti riba dan lain-lain. Intinya keterkaitan ayat-ayat tersebut adalah, setelah Allah menganjurkan kaum mukmin untuk bersedekah, mengharamkan riba, dan mengajak memaafkan orang yang sedang menghadapi kesulitan, dna bersedekah kepadanya dengan membebaskan hutangnya hal ini menimbukan kesan bahwa harta benda itu tidak punya arti dan nilau dalam hidup ini, maka datanglah ayat ini yang menjelaskan tetang hutang piutang. 
4.    Asbabun Nuzul
Ayat ini diturunkan sebab pada suatu waktu Rasulullah SAW datang ke Madinah. pertama kali orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa yang menyewakan (menghutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula”, sehubungan dengan itu, Allah menurunkan Ayat ke-282 sebagai perintah apabila mereka utang piutang maupun muamalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjadinya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang.

5.    Penafsiran Ayat
Inilah ayat yang terpanjang dalam Al-Qur’an dan yang dikenal oleh para ulama dengan nama ayat al-mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini antara lain berbicara tentang anjuran atau menurut sebagian ulama kewajiban menulis utang piutang dan mempersaksikannya di hadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris) sambil menekankan perlunya menulis utang walau sedikit, disertai dengan jumlah dan ketetapan waktunya.[1]
Selanjutnya Allah menegaskan dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menulisnya dengan adil yakni dengan benar tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak yang bermuamalah, sebagaimana dipahami dari kata adil dan diantara kamu. Dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian dan kejujuran.
Kata تَدَايَنْتُمْ yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah. Terambil dari kata dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf huruf kata dain itu selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak lain. kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, ketaatan dan agama. Kesemuanya menggambarkan timbal balik itu atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai yakni hutang piutang. Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya sekaligus harga diri. Karena itu, agama tidak menganjurkan seseorang berhutang kecuali jika sangat terpaksa. “hutang adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari” demikian sabda rasul seseorang yang tidak resah karena memiliki hutang atau tidak merasa risih karenanya  maka dia bukan seorang yang menghayati agama.
Perintah menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat nabi ketika itu, demikian juga yang terbaca pada ayat berikut. Memang sungguh sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi dalam artian salah seorang menulis dan apa yang ditulisnya diserahkan kepada mitranya jika mitra pandai tulis baca dan bila tidak pandai atau keduanya tidak pandai maka hendaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat.
Sedikit menerangkan diatas, kami disini hanya mencoba menjelaskan tentang persaksian.
Kata ممن ترضون من الشهداء didalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan adanya persyaratan yang adil bagi saksi. Makna ayat ini bersifat Muqayyad (mengikat) yang dijadikan pegangan hukum oleh imam Syafii dalam menangani semua kemutlakan di dalam Al-Quran yang menyangkut perintah mengadakan persaksian tanpa syarat. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang yang menolak kesaksian seseorang yang tidak dikenal. Untuk itu ia mempersyaratkan, hendaknya seorang saksi itu harus adil lagi disetujui.[2]
Kata واستشهدواشهدين من رجالكمdan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantara kamu. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah syahiidain bukan syahidain. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi, dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Dua orang saksi yang dimaksud adalah saksi-saksi lelaki. Atau kalau bukan dua orang saksi, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi.
Dalam pandangan mazhab Maliki, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, tindak kriminal, pernikahan, cerai dan rujuk. Mazhab Hanafi lebih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita. Mereka membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan dnegan harta, persoalan rumah tangga, seperti pernikahan, talak, dan rujuk, bahkan segala sesuatu kecuali soal kriminal. Memang, persoalan kriminal yang dapat mengantar kepada jatuhnya hukuman mati, dan dera, disamping tidak sejalan dengan kelemahlembutan wanita, kesaksian dalam hal tersebut tidak lumrah bagi mereka yang diharapkan lebih banyak memberi perhatian pada anak-anak dan rumah tangganya.
Sebagaimana Allah berpesan, “janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil. Karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban. Memang, banyak orang, sejak dahulu apalagi sekarang, yang enggan menjadi saksi, akibat berbagai faktor, paling sedikit karena kenyamanan dan kemaslahatan pribadinya terganggu. Karena itu, mereka perlu dihimbau. Perintah ini adalah anjuran, apalagi jika ada orang lain yang member keterangan, dan wajib hukumnya bila kesaksiannya mutlak untuk menegakkan keadilan. Nanti dalam ayat berikut akan ada larangan tegas disertai ancaman bagi saksi-saksi yang menyembunyikan kesaksian, yang mengakibatkan kerugian pihak lain.
Saksi dan penulis yang diminta atau diwajibkan untuk menulis dan menyaksikan, tentu saja mempunyai aneka kepentingan pribadi atau keluarga; kehadirannya sebagai saksi, dan atau tugasnya menulis, dapat mengganggu kepentingannya. Di sisi lain, mereka yang melakukan transaksi jual beli atau hutang-piutang itu, dapat juga mengalami kesulitan dari para penulis dan saksi jika mereka menyelewengkan kesaksian atau menyalahi ketentuan penulisan. Karena itu Allah berpesan dengan menggunakan satu redaksi yang dapat dipahami sebagai tertuju kepada penulis saksi, kepada penjual dan pembeli, serta yang berhutang dan pemberi hutang.
Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh saksi dan penulis adalah hilangnya kesempatan memperoleh rezeki, karena itu, tidak ada salahnya memberikan mereka ganti biaya transport dan biaya , sebagai imbalan jerih payah dan penggunaan waktu mereka. Di sisi lain, para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dengan memperlambat kesaksian, apalagi menyembunyikannya, atau melakukan penulisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka. Jika kamu, wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah, melakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajar kamu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Menutup ayat ini dengan perintah bertakwa yang disusul dengan mengingatkan pengajaran Ilahi, merupakan penutup yang amat tepat, karena seringkali yang melakukan transaksi perdagangan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dengan berbagai cara terselubung untuk menarik keuntungan sebanyak mungkin. Dari sini peringatan tentang perlunya takwa serta mengingat pengajaran Ilahi menjadi sangat tepat.
Namun dalam penafsiran lain disebutkan lebih jelas dan mendetail mengenai tafsiran ayat ini, Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi diantara manusia karena itu sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti.

B.       Surah al-Maidah : 106
1.    Ayat dan Terjemah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ
 غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ
 ارْتَبْتُمْ لا نَشْتَرِي بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا إِذًا لَمِنَ الآثِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa".

2.    Mufrodat Ayat
شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ           : Kalimat berita yang bermakna perintah yang artiya hendaklah disaksikan.     
الْمَوْتُ                        : Tanda-tanda kematian
الْوَصِيَّةُ                              : Berwasiat menunjukkan hukum wajib jika ia syartiyah
اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ       :Oleh dua orang yang adil diantara kamu
أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ          : Atau dua orang selain kamu

3.    Asbabun Nuzul
Ada banyak riwayat yang dikemukakan oleh ahli asbabun nuzul tentang sebab turunnya ayat ini, walau berbeda-beda  tapi intinya sama.[3] Pada suatu kali pergilah  Budail Maula Amar ibn Ash membawa barang dagangan ke Madinah. Di kota itu, ia berjumpa Tamim ad-dary dan Adi, dua orang Nasrani yang tinggal di Mekkah, lalu mereka pun bersama-sama pergi ke Syam.
Di tengah perjalanan Budail menderita sakit, lalu dia menulis surat wasiat dan dia masukkan ke dalam barang-barang dagangan miliknya. Kepada kawan-kawannya dia berwasiat supaya menyampaikan barang dagangan miliknya kepada keluarganya. Budail pun meninggal dalam perjalanan.
Sebelum barang diterima para ahli waris, Tamim dan Adi membuka ikatan barang-barang tersebut dan mengambil sebagiannya. Setelah itu barang dibungkus kembali dan kemudian diserahkan kepada keluarga Budail, yang tentu saja tidak utuh lagi. Keluarga Budail terkejut ketika bungkusan dibuka jumlah barang tidak sesuai dengan isi surat wasiat, yang juga diletakkan dalam bungkusan tanpa diketahui kawan almarhum yang dititipi. Para ahli waris pun datang kepada mereka yang menyerahkan barang titipan tersebut. Tetapi mereka yang dititipi mengatakan itulah barang-barang yang mereka terima. Mereka mengaku tidak tahu barang dalam bungkusan berkurang. Keluarga Budail mengatakan jumlah barang tidak sesuai dengan isi surat wasiat. Untuk menyelesaikan hal itu, akhirnya mereka mengadu kepada Nabi. maka turunlah ayat ini “hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang diantara kalian menghadapi kematian, sedang dia kan berwasiat , maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kalian, atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian... Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”. Kemudian Rasulullah SAW  menyuruh dua teman almarhum atau saksi tersebut bersumpah dengan nama Allah setelah sembahyang ashar yaitu “ Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, kami tidak memegang selain dari ini dan kami tidak menyembunyikannya.”
Kemudian mereka tinggal sebagaimana yang dikehendaki Allah untuk tinggal. Sesudah itu tampak pada mereka berdua ada sebuah bejana dari perak yang diukir dengan emas. Keluarganya berkata ”ini sebagian dari barangnya”. Mereka berdua berkata,” benar, tetapi kami telah membelinya dari dia, dan kami lupa menyebutkannya ketika bersumpah. Kami tidak suka mendustai diri kami sendiri”. Setelah mereka mengadukan perkara itu kepada Nabi SAW. turunlah ayat: “jika diketahui bahwa  kedua saksi itu berbuat dosa...”   maka nabi SAW memerintahkan dua orang laki-laki dan keluarga pemilik untuk bersumpah atas apa yang mereka berdua sembunyikan dan miliki.
Setelah kejadian ini, Tamim ad-Dari memeluk islam serta membaiatkan diri kepada Nabi. Ketika itulah dia merasa berdosa atas perbuatannya tersebut dan selanjutnya dia mengaku dengan terus terang telah mengambil bejana milik almarhum bersama kawannya.
Kemudian setelah mengakui perbuatannya, Tamim  menemui ahli waris budail dan menyerahkan uang sebanyak lima ratus dirham dan sisanya masih sama temannya (Adi bin Bada’), kemudian berangkatlah ahli waris Budail dan Adi menghadap Rasulullah SAW. Rasulullah meminta bukti-bukti tuduhan terhadap Adi itu, tetapi mereka tidak dapat memenuhi permintaan Rasulullah, kemudian Rasulullah menyuruh mereka menyumpah Adi dan ia pun bersumpah. Seperti telah dijelaskan di depan tadi Allah menurunkan QS .5 al-Maidah :106-108.[4]

4.    Munasabah Ayat
Setelah menjelaskan aneka ketentuan agama dan mengecam sejumlah adat kebiasaan dan keyakinan yang bertentangan dengan nilai-nilai ilahi, kini tiba saatnya menutup tuntunan-tuntunan-Nya dengan mengingatkan tentang kematian serta tuntutan berwasiat.

5.    Tafsir Ayat
Ayat ini menyeru kepada kaum beriman : hai orang-orang yang mengaku beriman, persaksian diantara kamu apabila tanda-tanda dekatnya kematian telah hadir kepada salah seorang diantara kamu sedang dia akan berwasiat, adalah bahwa persaksian wasiat itu oleh dua orang beriman yang adil diantara kamu, wahai orang beriman atau dua orang selain kamu yakni yang berlainan agama dengan kamu jika kamu tidak menemukan yang wajar menjadi saksi dari umat yang seagama dengan kamu misalnya jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi ini lalau kamu ditimpa musibah dengan hadirnya tanda-tanda kematian.
Kalau kamu wahai ahli waris, ragu tentang kesaksian mereka, maka laporkanlah kepada penguasa (hakim). Selanjutmya ayat ini mengarahkan perintahnya kepada penguasa (hakim) dengan menyatakan “hendaklah kamu tahan kedua saksi itu sesudah sholat agar mereka bersumpah, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah- ini – jika kamu ragu tentang kesaksian mereka dengan menyuruhnya berkata “ demi Allah kami tidak akan menukarnya yakni kandungan sumpah kami ini dengan harga sebanyak apapun karena ia pada hakekatnya adalah harga yang sedikit, walaupun penukaran itu untuk kepentingan karib kerabat, dan kami tidak pula menyembunyikan persaksian Allah yakni sumpah kami ini tidak mengandung perubahan terhadap apa yang diperintahkan Allah untuk dipersaksikan, tidak seorang tidak juga yang akan datang sesungguhnya kalau kami demikian yakni menyembunyikan persaksian atau mengubahnya maka tentulah kami termasuk pendosa yakni orang orang yang benar-benar telah mendarah daging dan membudidaya dosa dan pelanggaran dalam segala aktivitasnya”.
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa firman-Nya kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat tidak berkaitan dengan sebelumnya, tetapi perintah kepada penguasa atau hakim untuk menahan kedua saksi bila diragukan kesaksiannya guna diminta untuk bersumpah. Jika demikian maka tidak perlu adanya sumpah itu bila tidak ada keraguan terhadap mereka.
Tahir ibnu Asyur mempunyai pendapat lain menyangkut kata إِنِ ارْتَبْتُمْ /kalau kamu ragu. Kata ini menurutnya termasuk ucapan yang diucapkan oleh saksi, dalam arti ia mengucapkan bahwa “kalau kamu ragu tentang kebenaran kesaksian kami maka kami bersumpah demi Allah, bahwa kami tidak akan menukarnya dengan harga yang sedikit walaupun untuk karib kerabat dst” ini untuk menenangkan hati para pemilik hak. Menurut ibnu Asyur, kesaksian pada dasarnya hendaknya dipercaya walaupun kemungkinan berbohong tetap ada. Untuk menghindarkan kemungkinan itulah maka diperlukan sumpah. Disisi lain, memahaminya seperti ini tidak akan memojokkan siapapun yang menjadi saksi, karena ia berlaku dan diucapkan oleh semua yang menyampaikan kesaksian, berbeda jika sumpah tersebut hanya dimintakan kepada mereka yang diragukan. Demikian ibnu Asyur.
Kata kamu dalam firman-Nya oleh dua orang yang adil diantara kamu atau dua orang selain kamu, dipahami dalam arti kamu wahai kaum beriman. Pemahaman ini berdasarkan redaksi yang jelas dimulai denagn ajakan kepada orang-orang beriman. Ada juga yang memahaminya dalam arti dua orang adil diantara suku atau kabilah kamudan bila tidak ditemukan maka dua orang selain dari suku atua kabilah kamu. Agaknya mereka yang menganut pendapat kedua ini enggan menerima kesaksian non muslim terhadap orang-orang islam. Tetapi pemahaman mereka tidak sejalan dengan nilai nilai universal yang diajarkan islam, bahkan sangat janggal dari segi bahasa, dan karena itu pendapat ini tidak wajar diterima. Memang ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya non muslim menjadi saksi atas muslim. Yang menolak kesaksian non muslim menilai penggalan ayat diatas yang membolehkan kesaksian dimaksud telah dibatalkan hukumnya oleh ayat lain yang memerintahkan untuk mempersaksikan saksi yang diridhai oleh kaum muslimin (Al-Baqarah : 282). Ini pendapat Malik, Abu Hanifah dan Imam Syafi’i.
Pendapat yang menyatakan bahwa penggalan ayat diatas telah dibatalkan hukumnya, tidak disetujui oleh banyak ulama, apalagi surah al-Maidah termasuk surah terakhir yang diterima oleh rasul. Atas dasar itu banyak ulama yang berpendapat bahwa kesaksian non muslim terhadap muslim dapat dibenarkan apalagi dalam keadaan darurat atau dalam perjalanan seperti bunyi ayat ini.
Tampaknya pembatasan kesaksian non muslim terhadap muslim yang dipahami oleh ulama itu, disebabkan karena sebagaian penganut agama apalagi orang orang yahudi secara tegas membolehkan penipuan terhadap kaum muslimin sebagaimana ditegaskan oleh ucapan mereka sendiri yang diabadikan al-Qur’an bahwa tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi (kaum muslimin). (QS Ali imran : 75).
Firman-Nya تَحْبِسُونَهُمَا /kamu tahan kedua saksi itu, maksudnya bukan dalam arti dipenjarakan, tetapi diminta untuk tidak kemana-mana sebelum bersumpah.
Kata min dalam firman-Nya مِنْ بَعْدِ الصَّلاةِ /sesudah sholat dimaksudkan untuk member makna kedekatan waktu sesudah shalat yakni bahwa sumpah itu dilakukan setelah baru saja shalat selesai dilaksanakan. Bahwa sumpah itu dilaksanakan setelah shalat baru saja selesai dilaksanakan, karena shalat merupakan salah satu saat yang sangat dihormati oleh pemeluk agama, mengingat bahwa ia adalah saat menghadap ke Yang Maha Kuasa, sehingga diharapkan dengan selesainya shalat beberapa saat lalu jiwa yang bersumpah atau bersaksi masih diliputi oleh rasa takut kepada tuhan dan dengan demikian diharapkan pula kesaksian yang disampaikannya adalah kesaksian yang benar.


[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 1 (Ciputat Tanggerang: Lentera Hati, 2005), 601-609.
[2] Muhammad Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibn Katsir Jilid 7, penerjemah: Syihabuddin (Jakarta: Gema Insani, 1999), 194.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Hlm. 229.
[4] Q. Saleh , A.A Dahlan. Dkk., Asbabul Nuzul : latar belakang historis turunnya ayat-ayat Al-Qur’an,  (Bandung: Diponegoro, 2009) Hlm. 210.

Gaya Pengasuhan Orang Tua terhadap Remaja



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Definisi Remaja
Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya, adolentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.[1] Istilah adolescence juga mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget “secara psikologis, masa remaja adalah usia saat individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia saat anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua, melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa yang kenyataannya merupakan cirri khas yang umum dari periode perkembangan ini”.[2]
Pada tahun 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut[3] ;
1.    Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2.    Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3.    Terjadi pengalihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif  mandiri.
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk golongan dewasa. Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Oleh karena itu, remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai”. Remaja masih belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. Namun yang perlu ditekankan disini adalah bahwa fase remaja merupakan fase perkembangan yang tengah berada pada masa amat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi, maupun fisik.[4]
Menurut Elizabeth B. Hurlock, rentang usia remaja antara usia 13 tahun-21 tahun, rentang usia tersebut dibagi dalam masa remaja awal antara usia 13/14 tahun-17 tahun, dan remaja akhir antara rentang usia 17 tahun-21 tahun.[5]
Beberapa ahli di Indonesia dalam menentukan rentangan usia remaja, langsung maupun tidak, banyak dipengaruhi oleh pendapat Hurlock di atas. Drs. M.A. Priyatno, SH. yang membahas masalah kenakalan remaja dari segi agama Islam menyebutkan rentangan usia 13-21 tahun sebagai masa remaja.
Dra. Singgih Gunarsa dan suami, walaupun menyatakan bahwa ada beberapa kesulitan menentukan batasan usia masa remaja di Indonesia, akhirnya mereka pun menetapkan bahwa usia antara 12-22 tahun sebagai masa remaja.
Dr. Winarno Surrachmad, setelah meninjau banyak literatur luar negeri, menulis usia kurang lebih 12-22 adalah masa yang mencakup bagian terbesar perkembangan adolescence.[6]
B.       Gaya Pengasuhan/Pola Asuh Orang Tua Pada Remaja
Pengasuhan merupakan tanggung jawab orang tua, sehingga sungguh disayangkan bila pada masa kini masih ada orang yang menjalani peran orang tua tanpa kesadaran pengasuhan.[7] Padahal, Pengasuhan dipercaya memiliki dampak terhadap perkembangan individu.[8]
Terdapat dua elemen penting dalam pengasuhan yaitu pengasuhan yang demandingness dan responsiveness.[9] Pengasuhan demandingness merupakan dimensi yang berkaitan dengan tuntutan-tuntutan orang tua mengenai keinginan menjadikan anak sebagai bagian dari keluarga, harapan tentang perilaku dewasa, disiplin dan upaya menghadapi masalah perilaku. Faktor ini mewujud dalam tindakan kontrol dan regulasi yang dilakukan orang tua. Responsiveness merupakan dimensi yang berkaitan dengan ketanggapan orang tua dalam hal membimbing kepribadian remaja, membentuk ketegasan sikap, pengaturan diri dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus. Faktor ini mewujud dalam tindakan penerimaan, suportif, sensitif terhadap kebutuhan dan penghargaan.[10]

·           Jenis-Jenis Pola Pengasuhan Remaja
1.    Pengasuhan autoritarian (authoritarian parenting)
Adalah pola asuh yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap.[11]
Pola asuh otoriter orang tua memberikan perlakuan dan aturan-aturan yang kaku dan ketat yang dipergunakan sebagai pengontrol tingkah laku remaja, aturan-aturan dan batasan-batasan dari orangtua mutlak harus ditaati remaja dan remaja harus bertingkah laku sesuai dengan aturan yang diterapkan oleh orang tua. Anak harus patuh, tunduk dan tidak ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Orang tua tidak mempertimbangkan pandangan dan pendapat remaja, orang tua tetap mengambil dan menentukan keputusan, tidak ada komunikasi timbal balik, hukuman diberikan tanpa alasan dan jarang memberi hadiah. Orang tua hanya mengatakan apa yang harus dilakukan remaja, tetapi tidak menjelaskan mengapa remaja harus melakukan sesuatu dan tidak boleh melakukan yang lain.
Orang tua dengan gaya pengasuhan ini dinilai rendah dalam penggunaan kontrol rasional. Mereka lebih mengandalkan penegasan kekuasaan, disiplin keras, kurang hangat, kurang mengasuh, kurang mengasihi, kurang simpatik pada remaja.
Sebagai contoh seorang orang tua autoritarian bisa berkata, “kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada tawar menawar!” Remaja yang orang tuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah.[12]
2.      Pengasuhan autoritatif (authoritative parenting)
Gaya pengasuhan authoritative adalah kombinasi dari pengasuhan dengan kontrol yang tinggi dan pemberian dukungan yang positif bagi kemandirian remaja. Pengasuhan ini  mendorong untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orang tua bersikap hangat dan bersikap membesarkan hati remaja.[13] Orang tua mendorong anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri. Di sisi lain, orang tua bersikap tanggap terhadap kebutuhan dan pandangan remaja. Orang tua menghargai kedirian anak dan kualitas kepribadian yang dimiliki nya sebagai keunikan pribadi.[14]
Gaya pengasuhan authoritative memiliki arti yang sama seperti pola pengasuhan demokratis. Pola asuh demokratis memberlakukan peraturan-peraturan yang dibuat bersama oleh anggota keluarga yang bersangkutan. Orang tua benar-benar menghormati remaja sebagai individu yang utuh lahir dan batin, dan tidak sedikitpun mengarahkannya secara otoriter. Remaja di beri segala hal yang mengarahkannya pada kedewasaannya yang mandiri dan mengambil keputusan sendiri.[15]
Seorang ayah yang bersifat otoritatif, contohnya, bisa merangkul si remaja dengan nyaman dan berkata, “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi  tersebut dengan lebih baik di masa depan”. Remaja yang orang tuanya bersifat auritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara sosial.[16]
3.      Pengasuhan Permissive
Pengasuhan permissive biasanya dilakukan oleh orang tua yang terlalu baik, cenderung memberi banyak kebebasan pada remaja dengan menerima dan memaklumi segala perilaku, tuntutan dan tindakan remaja, namun kurang menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan perilaku anak.[17]
Seringkali orang tua menganggap dirinya bijaksana dengan memberikan “kebebasan” pada anak mereka, yang akhirnya disalahgunakan.[18]
Menurut Baumrin, pola asuh keluarga permisif (permissive) tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat bagi anak-anak mereka. Pola asuh permissive merupakan bentuk pengasuhan dimana orang tua memberikan kebebasan sebanyak mungkin pada anak untuk mengatur dirinya. Anak tidak dituntut untuk bertanggung jawab dan tidak banyak dikontrol oleh orang tua.
Baumrind menggambarkan 2 jenis keluarga yang permissive, antara lain:
a.    Keluarga permisif lunak (memanjakan)
Pola asuh permisif memanjakan (permissive-indulgent parenting) adalah suatu pola dimana orangtua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri.[19]
Orang tua yang bersifat permissive memanjakan dan mengijinkan remaja melakukan apa yang mereka inginkan, dan akibatnya adalah si remaja tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri dan selalu berharap mereka bisa mendapat semua keinginannya.[20]
Anak-anak yang dibesarkan oleh orangtua tipe ini biasanya menjadi anak-anak yang ”manja”. Mereka cenderung tidak cocok dengan orang dewasa lainnya, mereka sangat menuntut, kurang percaya diri, dan kurang bisa mengandalikan diri. Mereka tidak menetapkan tujuan atau menikmati kegiatan yang mengandung tanggung jawab. Mereka bisa menjadi senang dan bersikap baik selama segala sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan mereka, tetapi mudah frustasi jika keinginan mereka tidak terpenuhi.
b.    Keluarga yang lepas tangan (tidak peduli)
Gaya pengasuhan permisif tidak peduli (permissive-indifferet parenting) adalah suatu pola dimana keluarga sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri.[21] keluarga semacam ini gagal memberikan bimbingan dan dukungan emosional yang cukup bagi anak-anak mereka. keluarga yang tidak peduli bisa saja memulai dengan mencintai dan tegas, tetapi dalam perjalanannya mereka menjadi kewalahan menghadapi seringnya respons negatif dari anggota keluarga yang lain. Mereka mencoba menghindari konflik dengan bertahap menarik diri dari kehidupan emosional anak mereka. Seakan-akan orangtua yang lepas tangan mengatakan kepada diri mereka sendiri, ”apapun yang kulakukan, semuanya tidak berhasil. Jika aku baik kepada anak ini, juga tidak akan berhasil. Jika aku coba untuk memaksa anak ini untuk mengerjakan apa yang aku inginkan, anakmu menolak dan semua menjadi lebih buruk lagi”.
Remaja yang orangtuanya bersifat permissive-tidak peduli mendapat kesan bahwa aspek lain dari kehidupan si orang tua lebih penting daripada dirinya. Mereka biasanya tidak cakap secara social, mereka menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik.[22]




[1] Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja (Bandung; Pustaka Setia, 2006), 55.
[2] Mohammad Ali, Psikolokgi Remaja (Jakarta; Bumi Aksara, 2004), 9.
[3] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2002),  9.
[4] Mohammad Ali, Psikologi Remaja,…9-10.
[5] Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja,… 61.
[6] Panut Penuju, Psikologi Remaja (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 6-7.
[7] Sri Lestari, Psikologi Keluarga (Jakarta; Kencana, 2012), 37.
[8] Ibid, 47.
[9] Ibid, 48.
[10] Ibid.
[11] John W. Santrock, Adolescene ; Perkembangan Remaja, alih bahasa Shinto dkk (Jakarta; Erlangga, 2003), 185.
[12] Ibid.
[13] Ibid, 186.
[14] Sri Lestari, Psikologi Keluarga,…49.
[15] Muhammad Al-Mighwar, Psikologi Remaja,…199.
[16] John W. Santrock, Adolescene ; Perkembangan Remaja,..186.
[17] Sri Lestari, Psikologi Keluarga, 48.
[18] Singgih D. Gunasa, Psikologi Untuk Keluarga (Jakarta:PT BPK Gunung Mulia, 2000), 76.
[19] John W. Santrock, Adolescene ; Perkembangan Remaja,..186.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.